Sunday, March 8, 2009

Meraih Sakinah

Sesuatu apapun yang terjadi pada diri kita setiap saat bahkan apa yang kita kerjakan akan selalu ada hikmahnya. Yang akhirnya bisa menjadi bermanfaat atau bahkan menjadi merugi, tergantung dari diri kita yang menjadi pelaku yang semuanya digerakkan oleh hati kita, jalan fikiran mana yang harus kita ikuti. Jika kita mengikuti kata hati yang tidak baik tentunya dibelakang hari yang kita dapati adalah kerugian walau bisa dilakukan hanya dengan sesaat. Namun jika kita mengikuti kata hati yang baik, mungkin memerlukan usaha dan tantangan dan bahkan memerlukan waktu dan pengorbanan, namun akan mendatangkan keuntungan yang akan bermanfaat bagi diri kita sendiri atau bahkan juga bermaanfaat bagi orang lain.

Pada hari itu saya sedang mengisi tinta refile ke salah satu tempat, yang tentunya saya cari jarak terdekat dari tempat saya bekerja. Nah sambil menunggu tinta diisi saya iseng-iseng sambil membaca-baca buku yang disediakan untuk pengunjung . Salah satu judul buku itu menggerakkan hati saya untuk membaca karena saya lihat judulnya “Meraih Ketentraman Jiwa” wah ini bagus juga dalam hati saya, dan setelah saya baca ternyata saya tertarik karena didalam buku tersebut mengandung banyak pelajaran filsafat yang baik buat kehidupan kita. Buku tersebut karangan Drs. M. Ikhbal Irham, MA. Salah satunya yang akan saya tuangkan di sini bertema “Meraih Sakinah”. Dalam bukut tersebut disebutkan bahwa Untuk Kata Sakinah ternyata mengandung beberapa pengertian yang yang terkandung berdasarkan dari berbagai sumber atau Tafsir yang berbeda. Salah satu dari tafsir tersebut menyebutkan bahwa Sakinah itu adalah (Ridho, kerelaan hati, rendah hati/tawadhu’). Diantara yang saya ambil dari arti Sakinah adalah Tafakur dan Ketenangan hati yang saya tulis berikut ini :

Tafakur

Diceritakan Pan Aiying, seorang guru wanita yang di middle school di satu propinsi di China, yang baru saja keluar dari sekolah tempat ia mengajar, dijambret ditengah jalan. Sang guru terkejut dan hampir menjerit. Tas yang disandangnya diambil secara paksa. Di dalamnya ada kartu pengenal (KTP), uang sejumlah hampir AS $ 600, dan sebuah handphone. Ia memandangi sang penjambret, sang lelaki muda.

Segera berfikir untuk melaporkan kejadian tersebut ke kantor polisi terdekat. Tetapi niat ini diurungkannya (mungkin ia menyadari bahwa melapor ke polisi justru akan menyusahkan dirinya sendiri). Dengan meminjam handphone temannya, ia mencoba mengirim pesan lewat SMS kepada sang penjambret lewat nomor hp-nya yang ada di dalam tasnya yang hilang. Ia menulis dua puluh satu (21) pesan secara beruntun.

Hal yang menarik adalah, seluruh kalimat-kalimatnya tidak menggunakan bahasa yang penuh kemarahan, kasar, cacian atau makian. Ia justru menggunakan kata-kata yang menyentuh hati sang penjambret. Diantara isi SMS yang dikirimnya berbunyi : “Anda ternyata masih cukup muda. Dan jika anda sedang berada dalam kesulitan, saya akan memaafkan anda”. “Mencuri itu adalah sebuah kesalahan, tetapi tidak ada kesalahan yang tak dapat dimaafkan”. “Adalah lebih baik berfikir ke masa depan dan memperbaiki diri. “Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan menjadi orang baik”.

Sayangnya tidak satupun SMS Pan Aiying yang dibalas oleh si penjambret. Sehingga tetelah SMS yang ke dua puluh satu, Pan Aiying sangat terkejut. Di depan pintu rumahnya ia menemukan tasnya kembali. Ketika membuka tas dan melihat isinya dengan cermat, ternyata tidak ada satupun barang-barangnya yang hilang. Bahkan ia menemukan tambahan, sepucuk surat. Perlahan ia buka surat itu dan membacanya. Bunyi surat itu seperti ini :

“Pan Aiying, saya mohon maaf karena telah menyakiti hati Anda. Terimakasih Anda telah menyadarkan saya dari kekeliruan selama ini. Sejak saat ini saya berjanji untuk memperbaiki dan mengubah hidup saya. Saya bertekad untuk menjadi orang baik. Terimakasih.

Ketenangan Hati

Kisah di atas sesungguhnya adalah satu episode dari kehidupan anak manusia. Apa yang dialami oleh Pan Aiying, mungkin pernah kita rasakan yakni kehilangan harta benda atau sesuatu yang kita sayangi. Di sinilah tampaknya kita bisa belajar dari kejadian yang menimpa guru sekolah setingkat SMP ini.

Pertama, hidup ini adalah kumpulan dari berbagai kejadian yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Semua orang akan mengalami hal yang sama. Dan Allah sudah menggilirkan semua itu pada setiap manusia.

“Dan masa-masa/hari-hari (kejayaan-kehancuran, kesenangan-kesusahan) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”(QS. Ali Imran, 3 : 140).

Dalam kehidupan ini, semuanya datang silih berganti. Ada saatnya senang dan jaya, tetapi ada saatnya pula susah dan mengalami penderitaan. Tidak ada manusia yang terus menerus dalam keadaan senang dan sebaliknya tidak manusia yang menderita secara permanen. Kalau ditanya maka setiap orang ingin selalu bahagia dalam hidupnya. Tetapi mungkinkah setiap saat kita mengalami hal-hal yang menyenangkan?

Ketika mengalami sesuatu yang menyenangkan, maka kita pasti merasakan bahagia. Hati kita akan terbuka. Wajah akan berubah cerah. Perilaku menjadi riang. Hidup terasa semakin lapang. Dan sesungging senyum akan selalu bertengger di bibir kita. Namun saat disakiti umumnya semua orang akan marah, kecewa dan berang. Hati kita menjadi sesak. Wajah berubah menjadi berkerut dan “persegi empat”. Hidup terasa kian sempit. Kita semakin mudah marah dan tersinggung.

Perilaku dan sikap kita beubah terlalu cepat seiring perjalanan hari-hari yang kita rasakan. Padahal jika mencermati ayat di atas, maka kita akan meyakini bahwa di dunia ini sesungguhnya tidak ada kesenangan yang abadi. Begitu juga tidak ada kesengsaraan yang abadi. Semuanya akan berakhir seiring dengan perjalanan waktu. Lalu, mengapa kita harus selalu sewot jika hanya mengalami penderitaan yang sebentar dan pasti akan berakhir?

Kedua, hal yang terjadi pada Pan Aiying yang merupakan salah satu episode dari keseluruhan perjalanan hidupnya, sesungguhnya juga merupakan episode yang pasti terjadi pada setiap orang. Namun mengapa Pan Aiying mampu meredam amarahnya pada sang penjambret dan tetap menggunakan kata-kata yang “menyejukkan” dlam pesan SMS nya? Apakah karena dia seorang guru sehingga lebih bijaksana dalam mengambil kebijakan dan tindakan? Bukankah di sekitar kita masih banyak guru yang juga tidak mampu meredam emosi dan kemarahannya pada anak didik dan orang lain? Dan bukankah kita juga “guru” bagi adik-adik, anak-anak dan keluarga?

Mari kita ambil contoh dalan keseharian kita. Misalkan seorang Ibu yang sedang hamil. Tanyalah pada mereka, apakah hamil itu sendiri enak dan menyenangkan? Atau justru melelahkan? Ya, kita akan mendapatkan jawaban dari sebagian besar mereka bahwa hamil itu berat dan sakit. Ibu yang sedang hamil mudah mengalami kelelahan, capek dn kekuatan fisik terkadang menurun. Apalagi dari hari ke hari sang bayi semakin membesar dan tentu memberatkan. Jangankan untuk berjalan cepat, berjalan santai juga capek. Jangankan duduk lama, berbaringpun juga terasa mengganggu. Walhasil, hamil itu memang tidak menyenangkan. Tetapi benarkah kesimpulan ini?

Jika dikatakan bahwa hamil itu berat, maka jawabannya “ya”. Tetapi jika ditanyakan pada para ibu, maka umumnya mereka akan menjawab bahwa mereka BAHAGIA dengan kehamiloan mereka yang nyata-nyata “menyakitkan”. Bahkan pada waktu akan melahirkan, penderitaan itu bertambah berkali lipat dari waktu-waktu sebelumnya. Sehingga wajar jika dikatakan bahwa melahirkan adalah perjuangan antara hidup dan mati. Dan memang ada diantara ibu-ibu yang meninggal dunia setelah melahirkan. Namun dalam kenyataannya, penderitaan dan kesengsaraan yang luar biasa itu, ternyata tidak pernah menyurutkan ibu-ibu untuk hamil lagi. Mereka seakan melupakan semuanya, segera setelah melihat bayi yang mereka lahirkan dalam keadaan sehat wal’afiat. Lalu mengapa mereka bisa bahagia?

Bahagia ternyata tidak selalu berkaitan dengan kenyamanan, kekayaan materi, kesehatan, ketampanan atau kecantikan. Bagi Franklin, mengutip dari Jalaluddin Rahmat, happiness is not more possession of money; it lies in the joy of achievement, in the thrillof creative effort, kebahagiaan tidak terletak pada kepemilikkan uang semata; kebahagiaan terletak pada kegembiraan pencapaian, pada getaran upaya kreatif. Bahagia dimulai dari ketenangan hati dalam menerima suatu peristiwa dan menunjukkan sikap yang tenang dalam menikapi atau memberikan respon terhadap peristiwa tersebut. Semakin tenang hati kita, maka akan semakin bahagia kita. Sebaliknya jika hati kita tidak tenang, maka kehidupan ini terasa runyam dan tidak menyenangkan. Bahagia ternyata adalah ; “a goodthing in our mind/hear”, sesuatu yang indah di dlam hati dan pikiran kita.

Ketiga, ketenangan Pan Aiying dalam merespon masalah yang dihadapinya, ternyata berbuah hal yang luar biasa. Ia tidak berkata kasar dan mencaci maki sipenjambret. Sebaliknya ia justru ‘menyentuh hati’ yang terdalam anak muda itu. Hasilnya, tas dan seluruh isinya kembali ke pangkuan Pan Aiying dalam keadaan utuh, tidak kurang sedikitpun. Bahkan sang penjambret meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya, sekaligus berterimakasih pada Pan Aiying karena telah memberikan sebuah kesadaran kepadanya. Lebih dari itu, ia kemudian berjanji untuk merubah kekeliruannya selama ini dan berjanji untuk menjadi orang baik. Luar biasa……

0 comments:

Post a Comment